Jatuh cinta memang indah, tapi cinta yang sedang menghampirinya
sekarang adalah salah tidak seharusnya kisah ini terjadi. Dia harus mengalah
untuk orang yang sangat berarti dalam hidupnya, dia harus mencari orang lain
yang bisa menghibur hatinya. Khalisa begitulah ia biasa di sapa gadis ini
memilih pergi dan meninggalkan kotanya, ia harus benar-benar merelakan cintanya
untuk hidup bahagia dengan orang yang juga sangat berarti untuknya.
Namun, semakin jauh ia pergi rasa cintanya makin besar
pada pemuda yang sudah rela berkorban untuknya. Seorang pemuda yang dengan
ikhlas menolangnya, walaupun bahaya paling fatal adalah nyawanya
sendiri. Pemuda itu dengan yakin rela mendonorkan ginjalnya
untuk Khalisa, agar Khalisa bisa bertahan hidup. Bukan hanya itu pemuda yang
memiliki nama lengkap Givan Aryanda ini juga sering sekali menolong Khalisa
saat ia kesusahan. Jika kisahnya seperti ini apa salah Khalisa mencintai Givan.
Uff Khalisa menarik nafas berat saat
melihat pantulan dirinya sendiri di cermin, otaknya masih memutar kisahnya
dengan Givan dari pertama ia bertemu sampai pertemuannya kemaren. Kemaren Givan
yang memakai t-shirt warna dongkernya terlihat sangat tampan, apalagi di tambah
senyum manis yang selalu ia ukir di
bibir tipisnya itu.
“tidak seharusnya aku memulai kisah
ini” gumam Khalisa sambil mengarahkan pandangannya keluar jendela, ia melihat
hujan mulai membasahi bumi seakan alam pun mengerti rasa yang sedang ia rasakan
sekarang.
Khalisa membalikan badannya dan menatap wanita paruh baya
yang telah melahirkannya dan membesarkannya. Khalisa melemparkan senyum
manisnya pada wanita yang masih terlihat cantik itu.
“semuanya udah beres sayang?” tanyaknya dengan suara
lembutnya.
“udah Ma semuanya udah beres” jawab Khalisa lembut dan
mengambil kopernya.
Keluarga Khalisa mengatarnya hingga di gerbang rumah,
semua barang-barang yang akan ia bawa sudah di masukan ke dalam taxsi. Mamah
memeluk Khalisa lama melepaskan kepergian anak kesayangannya itu, begitu halnya
dengan sang Papah yang terlihat berat melepaskan putrid kecilnya yang sudah
dewasa itu. setelah pelukan dengan orang tuanya, Khalisa memandang kedua
Abangnya yang memasang wajah cemberut.
“Bang Andre Bang Wildan, Khalisa pamit ya kalian jaga
Mamah sama Papa dengan baik ya” kata Khalisa menatap kedua Abangnya itu.
“kenapa kamu pergi? Kita yang cowok aja gak pernah tue
ninggalin rumah” kata Wildan yang mulai angkat bicara walaupun ia tidak
memandang adik kesayanganya itu.
“iya tue, kamu anak cewek satu-satunya di rumag kita apa
kam tidak bisa tinggal?” tanyak Andre.
“uuff Abang, Khalisa pergi itu Cuma kerumah Uwak kok,
lagian kalian tau kan kalau Khalisa mau nyelesain skripsi Khalis siapa tau
disana Khalisa lebih tenang” jelas Khalisa dan kedua Abangnya menatap mengerti.
‘sekalian aku mau lupain Givan’ sambung batin Khalisa
perih.
“baiklah adik ku sayang Abang-abang mu sangat mengerti”
kata Andre memeluk Khalisa.
“Abang sama Bang Andre akan selalu menjaga Mamah dan
Papah” ucap Wildan ikut memeluk Khalisa.
“sudah-sudah, nantin Khalisa ketinggalan bis kekampung
Uwak” tutur Papah sambil melemparkan senyum manisnya pada anak-anak
tersayangnya.
Setelah ucap perpisahan itu Khalisa pun masuk kedalam
taxsi dan beramgkat ke terminal bus. Keluarganya memang gak mengantar Khalisa
sampek ke terminal bus karena itu permintaan Khalisa sendiri. Melihat keluarganya
yang tersenyum sedih, Khalisa pun sempat memasang wajah sedihnya namun hanya
sekejap saja.
Taxsi yang di tumpangi Khalisa makin jauh meninggalkan
kediaman keluarga Khalisa, Khalisa
kembali menarik nafasnya saat manatap keluar. Seakan hujan itu kembali membuat
dia mengingat masa lalunya. Sakit perasaan itulah lagi-lagi menghampiri hati
Khalisa.
Dret…dret…dret
Tengah focus melamun Khalisa di kejutkan dengan gataran
Hpnya, Khalisa membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Menarik nafas
sebentar, lalu Khalisa menekat tombal hijau untuk menjawab panggilan masuk itu.
Khalisa tersenyum saat mendengar suara semangat di seberang sana, dia terus
saja mendengar ocehan lawan bicaranya.
Khalisa bahagia bisa mendengar suara sahabat yang sangat
berarti dalam hidupnya, seorang sahabat yang selalu ada untuknya. Sahabat yang
rela menghabisakan air matanya karena takut saat mendengar fakta tentang
penyakit yang di derita oelh Khalisa. Dia juga sahabat yang sama yang tersenyum
bahagia saat tuhan memberikan Khalisa untuk melanjutkan hidupnya melalui
bantuan Givan yang rela mendonorkan ginjalnya untuk Khalisa.
‘Khalis loe ada di
rumah kan? tadi saat gue telpon Givan katanya dia akan kerumah loe’
Deg
Mendengar perkataan itu seketika rasanya waktu berhenti, ada
perasaan takut yang mengahampiri Khalisa. Ia takut jika keluarganya mengatakan
kelau ia telah meninggalkan kotanya. Bahkan pendenggaran Khalisa kini tidak
mengindahkan panggilan sahabatnya itu, dalam pikirannya hanya ada Givan saja.
‘Khalis loe masih ada
di sana kan?’ tanyak suara di seberang sana yang tak kunjung dapat jawaban
dari Khalisa.
‘ya udah deh
mungkin sinyalnya jelek’ sambung suara itu dan memutuskan sambungan telpon.
Dengan masih di hampiri perasaan cemas, Khalisa tiba di
terminal bus ia menatap bus yang menuju ke Sumatra Utara Khalisa menarik nafas
dalam lalu berjalan melalui bus itu ia memutuskan membelikan tiket lain.
Khalisa memperhatikan atrian yang masih panjang itu,
matanya menyapu setiap orang di sekelilingnya hingga ia menemukan satu sosok
yang ia kenal. Sosok itu terlihat tengah celingak-celingguk dan sosok itu
terlihat tengah mengobrol dengan satpam yang ada di terminal bus lalu sosok itu
menghampiri bus menuju Sumatra Utara.
“Mbak ini tiketnya” suara itu menyadarkan Khalisa, ia
buru-buru megambil tiket itu dan berlalu menuju bus yang akan membawanya ke
Aceh.
‘maafkan aku Givan,
aku harus pergi meninggalkan kamu dan semuanya aku gak sanggup bertahan di
sampingmu’ batin Khalisa yang di temani tetes air matanya.
Di sisi lain Givan terlihat seperti orang yang
benar-benar kebinggungan ia turun dengan perasaan lesu saat ia tidak menemukan
Khalisa di situ. Ia menatap sendu bus yang menuju Sumatra Utara itu, ia putus
asa dia gak tau lagi harus mencari sahabat baiknya itu kemana lagi.
“sebenarnya kamu pergi kemana Khalis” ucap Givan frustasi
bahkan ia tidak peduli dengan hujan yang membasahinya. Ia hanya ingin tau
kemana ia harus mencari Khalisa.
>Ooo<
Setelah menempuh jarak
yang lumayan melelahkan akhiranya Khalisa tiba juga di Aceh tepatnya di Kota
Matang GLP II. Khalisa merentangkan tanggannya seolah ia lagi mengatakan
selamat datang pada masa depannya. Khalisa mengalihkan pandangannya ke seluruh
terminal, yang tentu saja sangat berbeda dengan terminal di kota Sumatra Barat
tanah kelahiran ibunya dan juga tanah kelahirannya.
Ia celinggak-celingguk mencari sosok yang mungkin ia
kenal atau yang mengenalnya, yah setelah ia memutuskan ia akan ke Aceh, Khalisa
cepat-cepat menghubungi Papahnya dan menannyakan alamat Uwaknya yang bernama
Hayati. Papah dan yang lain sempat terkejut karena ia mengubah tujuannya, tapi
setelah ia jelaskan dengan sedikit kebohongan keluarganya pun dapat mengerti,
dan kali ini Khalisa telah melarang siapapun untuk mengatakan ke pada
teman-temannya kemana Khalisa pergi termasuk Givan dan Amira.
Pandangan Khalisa membaca sebuah nama yang tertera di
sebuah kardu ‘anak Fahmi’ Khalisa
tersenyum membaca tulisan itu yang ia yakini di tunjuk untuknya. Khalisa
menghampiri orang itu dan menyapanya dengan ramah.
“Pak Wa Hasnawi?” tanyak Khalisa, laki-laki setengah baya
itu pun menganggukan kepalanya.
“iya. Hmm itu Uwak Hayati dan Bang Fazil” kenalkan Pak Wa
Hasnawi, Khalisa tersenyum melihat keluarga Papahnya itu.
“kami terkejut saat Papahmu bilang kalau kamu akan kesini,
kami pikir dia bercanda”
“enggak Pak Wa Khalis memang ingin kesini” jawab Khalisa
dengan suara lembutnya, sedangkan pemuda yang mungkin usianya seusia Bang Andre
tengah mengangkat barang-barang Khalisa.
“tapi kenapa rumah kami? Tempat kami di pelosok, kamu kan
bisa ke tempat Bunda Raudha di Banda Aceh atau Pak Wa Abdullah di Sabang dan
di……”
“maaf Uwak Hayati, tapi Khalisa memang ingin ke tempat
yang tenang seperti tempat kalian” potong Khalisa, Uwak Hayati pun melemparkan
senyum dan merangkul keponakannya itu dengan penuh rasa sayang.
Dari Kota Matang menuju kampong Pak Wa dan Uwaknya itu
ternyata kembali menempuh jarak yang sangat jauh, bahkan Khalisa kembali
tertidur di mobil yang di setir oleh Bang Fazil. Dan sekitar jam 2 pagi
akhirnya Khalisa dapat merebahkan tubuhnya di kamar sederhana milik keluarga
Papahnya itu. saat masuk ke kamar itu Khalisa mengukir sebuah senyuman ia ingin
dulu saat ia masih kecil ia pernah tidur di kamar ini bersama
ssaudara-saudaranya saat ada pesta pernikahan anak tertua Pak Wa.
“tidur yang nyenyak besok saya akan bawa kamu
jalan-jalan” tutur sepupunya yang ia tau bernama Wahyuni, Khalisa pun
menganggukan kepalanya dan Wahyuni meninggalkan kamar tidur itu.
Setelah Wahyuni keluar Khalisa mengambil ponselnya dan
mengaktifkan ponsel putihnya itu, Khalisa menarik nafas lega saat ia lihat
ponselnya tidak menangkap sinyal. Khalisa melempar ponsel ke kasur lalu ia pun
ikut melemparkan tubuhnya ke kasur. Khalisa memejamkan matanya, dan begitu
cepat kenangannya dan Givan hadir menemani tidurnya.
Khalisa ingat saat ia dan Givan tengah sama-sama bercanda
di kampus dan datang Amira yang memasang wajah cemberut. Khalisa bersama Givan
pun berusaha menghibur Amira dan membuat mood nya kembali. Khalisa juga ingat
saat Givan meneteskan air matanya karena Khalisa yang hampir jatuh pingsan, ia
sangat ingat wajah khawatir Givan.
“uuf, mending tidur” gumam Khalisa.
>Ooo<
Esok sesuai janjinya Wahyuni pun membawa Khalisa
jalan-jalan mengelilingi kampong nya, Khalisa benar-benar takjub melihat
kampong Wahyuni. Bukannya ia tidak meliat pemandangan seperti ini di Sumatra
barat, tapi di sana Khalisa tinggal di kota yang penuh dengan sesak orang dan
debu polusi. Namun, saat ini Khalisa tengah berada di sebuah kampong yang
sangat nyaman. Aliran air sugainya terdengar sangat indah, angin sejuknya dan
pemandanga hijaunya juga terlihat sangat indah. Dan dari cerita Wahyuni,
Khalisa mengetahui kalau penduduk di sini baru mulai membuka lahan sawit, dan
pada dasarnya penduduk di sini banyak menjalini profesinya sebagai petani.
“Yuni, kita main air di sungai ya? Aku mohon” bujuk
Khalisa dan Wahyuni pun menganggukan kepalanya.
Khalisa terlihat sangat menikmat permainannya, seolah
bebannya tentang permaslahan cintanya yang rumit itu hilang sudah. Dan tak jauh
dari arah dia dan Wahyuni bermain terlihat seorang pemuda tampan yang sedang
bersama beberapa orang tua tengah memperhatikannya. Sesekali pemuda itu
mengukir senyumnya saat melihat Khalisa terpeleset.
Selesai bermain air, Khalisa merasa lapar ia dan Wahyuni
pun memutuskan untuk makan mie di sebuah warung yang menurut Wahyuni sangat
enak. Dengan baju yang basah Khalisa menjadi pusat perhatian apa lagi penduduk
setempat tidak mengenalnya, tapi itu adalah Khalisa yang kurang peduli dengan
pandangan orang-orang.
Khalisa menyantap mienya dengan lahap, bahkan ia tidak
menyadari kalau seorang pemuda yang tadi memperhatikannya di sungai kini
kembali memperhatikannya. Pemuda itu lagi-lagi hanya bisa tersenyum melihat
tingkah Khalisa. Namun, kali ini sepertinya ia akan di tangkap basah oleh
Wahyuni yang sedari tadi juga mulai memperhatikan pemuda yang lumayan keren
itu.
“Kak Khalisa” panggil Wahyuni setengah berbisik, Khalisa
menoleh kearah Wahyuni.
“Kak, kayak pemuda yang sama Pak kechik (kepala desa) itu
memperhatikan Kakak deh” bisik Wahyuni, spontan Khalisa langsung menolehkan
kepalaya dan tersenyum pada pemuda yang ke tangkap basah oleh nya itu.
“Yun, kamu tunggu disini ya! Aku mau bica sapa orang itu”
ucap Kahalisa yakin dan bangkit dari duduknya.
“eh? Jangan Kak” cegat Wahyuni, yang tidak di indahkan
oleh Khalisa.
Khalisa menghampiri pemuda itu dan lansung duduk di
sampingnya, Khalisa menatap sinis pemuda itu yang mengkerutkan keningnya. Tanpa
basa basi Khalisa langsung menanyakan kenapa pemuda itu memperhatikannya sedari
tadi. Bukannya menjawab pemuda yang memakek kaos biru muda ini hanya tersenyum.
‘uuf’ Khalisa menghela nafas kesal melihat tingkah songgong pemuda sok keran
itu.
“Arfan Syahreza, seorang pendatang yang sedang melakukan
penelitian untuk skripsinya” kenal kan Arfan sambil tersenyum manis.
“aku tidak menanyakan nama mu”
“yah, ku pikirkan kau bisa membantuku hmm nona?”
“dengar ya tuan Arfan Syahreza, aku juga pendatang
disini, aku berasal dari Sumatra Barat, jadi aku tidak bisa membantu mu dan aku
tidak ingin tau tentangmu” ucap Khalisa kesal.
“ouh kamu lebih jauh, aku dari kota Banda Aceh” kata
Arfan sambil tersenyum.
“kamu ingin meneliti apa disini?” tanyak Khalisa dengan
ekspresi judesnya.
“kamu bilang kamu gak ingin tau tentang ku” jawab Arfan.
“aisy terserah kau saja lah, Yun ayo kita pulang” Khalisa
dan Wahyuni pun pergi dari warung itu, meninggalkan Arfan yang masih tersenyum.
>Ooo<
Di tempat lain, Givan dan Amira tengah duduk bersama dan
menceritakan tentang Khalisa yang menghilang tanpa jejak. Givan terlihat
benar-benar merindukan Khalisa begitupun dengan Amira, bahkan Amira
mengurungkan niatnya untuk mengungkapkan perasaanya pada Givan. Ia tidak ingin
membuat suasana makin kacau, dan ia juga menyadari satu hal kalau Givan
menyukai Khalisa.
‘dia melakukannya
bukan untuk ku tapi karena ia mencintainya’ kata batin Khalisa menatap
Givan yang tengah duduk frustasi.
“aku kehilangan sahabat terbaik ku Amira” kata Givan yang
terlihat kacau.
“padahal aku rela memberi ginjal ku agar aku tidak
kehilangannya dan meilhat ia sakit seperti dulu, tapi kenapa dia pergi Mira”
sambung Givan.
Amira hanya diam tapi air matanya mulai menetes, rasa
yang ia rasa sekarang antara sakit kehilangan sahabat dan rasa sakit karena
orang yang ia cintai sangat mencintai orang lain. Amira tidak bisa menyalahkan
Khalisa dalam kasus ini, kerena ia lah yang salah menepatkan hati. Ia berjanji
kalau Khalisa kembali dia akan membuat Khalisa dan Givan bersatu ia rela
mengorbankan cintanya demi orang ia cintai bahagia.
‘apa Khalisa pergi
kerena dia menyukai Givan, dan dia ingin aku dan Givan bersatu. Dasar bodoh
kami tidak akan bersatu dengan cara seperti ini’ kata batin Amira.
Amira terus berbicara dengan batinnya sendiri, ia juga
menyalahkan dirinya dengan semua yang terjadi. Dia menyalahkan dirinya yang
jatuh cinta pada yang tak seharusnya, ia mencintai orang yang juga di cintai
sahabatnya, begitulah yang di pikirkan Amira.
>Ooo<
Pagi yang indah dan
sejuk, Khalisa telah membuka matanya ia liat Uwaknya yang sedang menyiapkan
sarapan untuk mereka, terlalu pagi memang tapi ini lah kebiasaan Uwaknya.
Apalagi Uwak punya seorang anak yang masih sekolah SMA yang tiap paginya selalu
membawa bekal dari rumah.
“Wak, Khalisa Shalat subuh dulu ya? Nanti baru bantu
Uwak” ungkap Khalisa Uwak Hayati pun menganggukan kepalanya dan mengukir sebuah
senyum.
Khalisa pergi ambil wudhu, setelahnya ia langsung shalat
subuh. Setelah shalat Khalisa memanjatkan doa untuk dirinya dan keluargannya.
Saat sedang melipat mukenah wajah Givan terlintas di benaknya, jujur ia masih
merindukan pemuda yang telah melakukan banyak hal untuknya itu. sekilas
kenangannya dan Givan pun kembali menari-nari di otaknya termasuk kenangan
dengan Amira yang jujur padanya kalau ia suka pada Givan.
Flash Back :
Khalisa duduk di taman rumah sakit bersama Amira yang
terus sja bercoleteh banyak hal, ya hari ini Amira mengunjungi Khalisa yang
baru saja selesai operasi. Givan lah yang telah memberinya ginjal agar Khalisa
bisa sembuh dari penyakitnya. Amira sang sahabat terus sja bercerita pada
Khalisa, Khalisa hanya menjadi pendengar yang baik untuk Amirah hingga satu
kenyataan ia dengar.
“Khalis, kau tau gak sih, aku sangat menyukai Givan
bahkan saat pertama kali aku bertemu dengannya” jujur Amira sambil senyum,
tanpa menyadari raut wajah Khalisa yang seketika berubah.
“dan yang lebih senang lagi dia bisa dekat dengan sahabat
ku ini, bahkan karena permintaan ku dan rasa sayang nya padamu dia mau mendonor
kan ginjalnya pada mu” ungkap Amira.
Flas ON :
“yah dia melakukan semuanya itu demi Amira bukan aku, aku
yakin rasa cinta Amira terbalaskan” kata Khalisa lirih dan setetes air mata
membasahi pipinya.
“Khalisaaa” suara Pak Wanya menyadarkan Khalisa.
“iya” Khalisa menjawab penggilan itu dan berlalu
meninggalkan kamar.
Skip Time
Hari ini Khalisa pergi bersama Pak Wanya ke sawah, dan
nanti setelah urusan Pak Wa selesai dia berjanji akan membawa Khalisa ke air
terjun yang ada di desa itu. Di sawah Khalisa terus memperhatikan Pak Wanya
yang sedang mengaliri air. Dan ia gak sadar lagi-lagi di tempat itu ada Arfan.
“woi” kagetkan Arfan.
“eh copot copot astaufirullah” ucap Khalisa yang langsung
loncot ke sawah, al hasil ia berlepotan lumpur.
“hahahahahaha” gelak tawa Arfan menggema di sawah hingga
mengundang perhatian Pak Wa Khalisa dan beberapa warga yang ada di sawah.
“aisy Arfaaaaaan” teriak Khalisa kesal.
“aaaakh, apa ini” Khalisa kembali teriak histeris, Pak Wa
dengan panic menghampiri Khalisa yang telah jatuh terduduk.
“ah, ini… jangan bergerak” kata Arfan.
“pacat” sambungnya saat pacat itu sudah ada di
tanggannya.
“aaaakh” spontan Khalisa kembali berteriak keluar dari
sawah dan berlari sebisanya.
“maaf pak” ucap Arfan saat Pak Wa Khalisa menghampirinya.
“iya” jawab Pak wa singkat dan mengejar Khalisa, Arfan
pun ikut mengejar.
Setelah berhasil mengejar Khalisa, mereka pun duduk di
sebuah warung dan mulai berbicara
baik-baik, termasuk Arfan yang minta maaf pada Khalisa karena candaannya. Walau
Arfan telah minta maaf Khalisa tetap masang wajah cemberut, ia juga cerita sama
Pak Wa Khalisa gimana ia bertemu sama Khalisa.
“jadi kamu juga akan ke air terjun itu nak Arfan”
“ia Pak sama Pak kechik juga” kata Arfan.
“ya sudah kita pergi sama-sama”
Se sampeknya di air terjun Khalisa masih memasang wajah
cemberut sedangkan Arfan asyik motret-motret saja. Ia juga memotret wajah
cemberut Khalisa, di tempat yang mereka datangi sekarang suasana sejuknya
benar-benar terasa. Sejenak rasa sejuk dan rasa kesalnya pada Arfan bisa
membuat Khalisa melupakan masalahnya.
“woi cemberut aja coba deh kamu rasa kan suasananya sejuk
banget” ucap Arfan.
“diam!” printah Khalisa.
“rasakan dulu baru marah-marah” kata Arfan lagi dan
melanjutkan acara montretnya.
Melihat Arfan kembali sibuk, Khalisa pun merentangkan
tanggannya dan merasakan sauna yang sejuk itu menerpanya. Dia hanyut dalam
suasana yang terciptakan, dan Arfan yang melihat tak menyianyiakan kesepatan
itu untuk mengambil gambar Khalisa.
“kau memang menarik” gumam Arfan sambil melihat hasil
jepretannya.
>Ooo<
Hari-hari berlalu dengan cepat walau masih bertengkar
tapi hubungan Khalisa dan Arfan makin dekat. Khalisa juga telah menceritakan
masalahnya dengan Givan dan Amira juga masalah skripsinya. Arfan dengan senang
hati membantu Khalisa membuat skripsinya dan juga membatunya melupakan Givan.
Dan seiring waktu Arfan berhasil melakukan itu, ia hampir
menyelesaikan skripsi Khalisa tapi sayang ia tidak berhasil membuat Khalisa
melupakan Givan. Arfan malah melakukan kesalahan yang membuat dirinya sakit, ia
makin hari makin menyukai gadis yang membuat ia tertarik saat pertama kali
melihatnya.
“oh ya besok kau jadi balik ke Banda Aceh?” tanyak
Khalisa yang tengah mengetik Skripsinya.
“ya, aku harus menyerahkan skripsi ku secara lansung,
kalau via E-mail sih udah tapi dosennya minta langsung sekarang. Dan lagi aku
di sini juga sudah 5 bulan” jelas Arfan yang tengah mencoret-coret kertas.
“aku akan kesepian dong, apa kau tidak akan kembali?”
tanyak Khalisa yang menatap Arfan sendu kini.
“aku akan kembali kalau kau mau menerima aku, karena
selain itu aku gak punya alasan kembali kesini karena semuanya telah selesai”
jujur Arfan tapi Khalisa melah mengkerutkan keningnya.
“maksud kamu?”
“bisakah kau lupakan Givan dan bersama ku?”
“ah, aku ingin bersama mu Arfan, kau orang yang baik tapi
aku belum bisa sepenuhnya melupakan Givan jadi aku gak bisa bersama mu aku gak
mau kau sakit”
“aku akan menunggu kau melupakan Givan, tapi aku ingin
menjadi imam mu sekarang bukan kekasihmu” ucap Arfan tulus.
>Ooo<
1 tahun kemudian,
Khalisa terlihat tengah duduk di depan rumahnya sendiri memperhatikan sang
Abang yang tengah mencuci mobil. Wildan yang tau Khalisa memperhatikannya malah
menoleh pada Khalisa dan melemperkan senyum manisnya.
“kamu udah ke kampus?” tanyak Wildan lalu.
“belum, kata dosennya besok aja lagian aku baru datang
kenapa harus buru-buru” bela Khalisa dengan cenggiran khasnya.
“jangan di tunda-tunda lagi, kamu udah banyak buang-buang
waktu di Aceh” kata Wilda dan melanjutkan acar cuci mobilnya.
Mendengar jawaban dari sang Abang Khalisa tersenyum malu
entah apa yang ada di pikirannya. Dengan masih mempertahankan senyum Khalisa
pergi masuk ke dalam rumahnya, ia duduk di depan TV dan menonton drama korea
yang akhir-akhir ini menjadi drama favoritnya.
“Khalis di depan ada Givan sama Amira” kata Wilda yang
tiba-tiba datang mengganggu acar dia menonton.
“ke……”
“Khalisaaaaaaa” teriakkan Amira menggema di seluruh
penjuru rumah Khalisa.
“ah hay, Amira Givan” sapa Khalisa canggung.
Amira menatap Khalisa horor sedangkan Givan menatapnya
dengan tatapan yang sulit di jelaskan tatapan itu terlihat misterius. Khalisa
agak takut menatap Givan yang seperti itu sekarang.
“aku kangen kamu, pokoknya kamu harus cerita segalanya
pada ku” tuntut Amira dan memeluk Khalisa.
Setelah pelukan Amira di lepaskan, Khalisa menatap Givan
yang masih menatapnya dengan tatapan yang aneh. Khalisa melemparkan senyum
manisnya, tapi Givan tidak menanggapi senyum itu. ia malah melangkah makin
dekat pada Khalisa dengan mempertahankan tatapannya.
“dasar bodoh” cibir Givan dan memeluk Khalisa, Amira
memasang senyum aneh saat melihat adegan itu sedangkan Khalisa membulatkan
matanya.
“eh? Maaf tapi kita bukan muhrib” ucap Khalisa dan
melepaskan pelukan itu.
“ah, maaf aku terlalu senang kau kembali, aku pikir kau
gak akan kembali, aku sangat merindukan mu aku selalu menunggu mu kembali, kau
telah meninggalkan ku 1 tahun 4 bulan 4 hari dan akhirnya sekarang kau kembali”
ucap Givan senang dan setetes butiran bening membasahi pipinya.
“ke__kenapa kau seperti ini Givan?” tanyak Khalisa yang
menatap binggung Givan.
“kerena aku mencintaimu sangat mencintai mu” jujur Givan.
Deg
Jantung Khalisa dan Amira seketika rasanya terhenti,
keduanya merasakan sakit tapi sakit yang berbeda. Indra pendengaran Khalisa
kini juga menangkap tapak kaki seseorang melangkah mendekati mereka, Khalisa
sangat hafal langkah kaki itu dan juga varfum yang kini menusuk indara
penciumannya. Khalisa membalikan badannya dan mendapati sosok pemuda yang
berpostur atletis itu tengah menatap mereka. Rambunya terlihat acak-acakkan
tapi ia masih saja terlihat tampan.
“mereka teman mu?” tanyak Suara baritone itu.
“iya, Bang Arfan”
Flas Back :
“kau serius Arfan ingin menjadi Imam ku?” tanyak Khalisa
ragu.
“iya, kalau kau mau hubungi aku setelah 2 bulan, aku akan
membawa keluarga ku untuk melamar mu”
2 bulan kemudian, Khalisa terlihat cantik cantik dengan
baju mereh mudanya. Dan di laur kamar terdengar seuara orang-orang tua yang
tengah menentukan tanggal pernikahannya dan Arfan. Setelah penetapan mahar dan
tanggal pernikahan selesai Khalisa di bawa keluar dan berkenalan dengan
keluarga calon suaminya.
Rencananya pernikahan itu akan di lakukan bulan depan dan
bulan depan juga Khalisa beru bertemu dangan Arfan. Pernikahan mereka akan
berlangsung di kampong Pak Wanya Khalisa, sesuai permintaan keduannya. Semua
persiapan pun sudah mulai di lakukan.
Selama tidak bertemu
dengan Arfan, Khalisa merasa dia merindukan Arfan walaupun jujur ia belum
sepuhnya yakin pada rasa itu. Arfan sendiri tidak pernah memaksakan Khalisa
untuk mengatakan ia mencintainya, Arfan cukup senang Khalisa menerimanya
walaupun mungkin hanya di jadikan palampiasan tapi nanti statusnya lebih kuat
dari pada Givan.
Setelah acara pernikahannya dengan Arfan, Khalisa memutuskan
untuk tinggal bersama Arfan di Kota Banda Aceh. Di sana mereka tinggal bersama dengan keluarga
Arfan, dan setelah Arfan di wisuda dan pernikahan mereka sudah berjalan 4 bulan
kemaren Khalisa bersama sang suami kembali ke Sumatra Barat.
Flash On :
“dia siapa Khalisa?” tanyak Amira penasaran.
“Arfan Syahraza suami ku” ucap Khalisa.
‘suami kau bercanda” kata Givan.
“iya kau bercanda”
Suasana yang terciptakan pun jadi sunyi Khalisa hanya
diam, semua terlihat mulai kalut dengan pikiran masing-masing. Givan dan Amira
yang ingin mendengar kalau Khalisa Cuma bercanda, Arfan yang takut Khalisa
tidak mengakuinya dan Khalisa yang takut teman-temannya akan kecewa padanya.
“maaf aku gak mengatakanny pada kalian, aku dan bang
Arfan bertemu di Aceh 5 bulan kami mengenal kita pun memutuskan untuk menikah”
“kanapa secepat itu, kau mencintainya?” tanyak Givan yang
jelas terlihat kecewa dengan kenyataan yang ia dengar.
“aku gak tau aku mencintainya atau tidak, tapi aku yakin
dan percaya padanya” kata Khalisa dan menggandeng tanggan suaminya itu.
“tapi Givan yakin dan percaya pada mu juga sangat
mencintai mu tapi kenapa kau pergi darinya dan mencari orang asing?” tanyak
Amira yang mulai meneteskan air matanya.
“Amira ini takdir dan pilihan ku, aku ingin bahagia
dengan suami ku. Aku yakin ada orang lain yang sangat mencintai Givan dan
selalu bersamanya”
“apa maksudnya aku? Tidak Khalisa aku telah mundur saat
tau givan sangat mencintai mu dan saat aku sadar kamu juga mencintai Givan, aku
telah mencari penggantinya”
“kenapa kau lakukan ini? Tidak seharusnya ini semua
terjadi Amira” bentak Khalisa yang jelas terlihat kecewa.
“cukup! Ini salah ku aku yang gak jujur dengan perasaan
ku, aku yang buat kekacauan ini” ucap Givan lirih dan pergi.
“Givan tunggu, maaf kan aku, aku telah menyakiti mu
setelah apa yang kau berikan padaku”
“tidak Khalisa kau tidak salah, semoga kau selalu bahagia
dengan suamimu, Arfan tolong jaga Khalisa dengan baik” ujar Givan.
“pasti, dan terima kasih kerena mu aku bisa bertemu
dengannya” ucap Arfan yang merasa bersalah dengan apa yang terjadi, tidak
seharusnya ia menyatakan cintanya dulu.
“ini takdir, walaupun aku ingin dia mencintai tapi
kenyataannya dia mencintaimu” ungkap Givan lirih.
“tidak Givan dia tidak mencintai ku dia hanya baru
mencoba mencintai ku”
“bang Arfan”
“dia mencintai laki-laki yang telah banyak membantunya,
yang telah mendonorkan ginjal untuknya, tapi Givan maaf aku tidak bisa
melepaskan istri ku lagi untuk laki-laki itu karena aku juga sangat
mencintainya” jujur Arfan yang membuat suasana menegang.
“Khalisa” panggil Givan, seolah mencari kebenaran.
“bang Arfan benar aku mencintai mu tapi aku gak bisa
bersama mu dan sekarang aku mulai mencintai bang Arfan” ungkap Khalisa, givan
tersenyum dan sekarang benar-benar oergi dari sana.
“maaf Khalisa ini semua salah ku, dan sekarang aku akan
menyusulnya” ujar Amira merasa bersalah.
“hmm pergilah dan Amira dalam kasus ini tidak ada yang
salah” ucap Khalisa dengan senyum.
Setelah kepergian Givan dan Amira, Khalisa memandang
Arfan lalu tersenyum manis dan langsung memeluknya erat. Arfan pun membalas
pelukan itu dengan penuh cintanya. Di sisi lain ternyata Andre dan Wildan dari
tadi terus memperhatikan mereka sambil senyum-senyum.
“apa aku bilang, Khalisa memang cocok dengan orang
seperti Arfa” ungkap Wilda dan Andre menganggukan kepalanya setuju.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar