Kamis, 17 November 2016

Pangeran Impian dan Tuan Putri Hayalan


Pangeran Hayalan &Tuan Putri Impian

Hidup di negeri dogeng adalah impian setiap orang apa lagi jika sejak kecil selalu mendengar kisah – kisah dogeng. Dimana di negeri itu banyak hal – hal yang mustahil terjadi, ada banyak keajaiban. Binatang bisa bicara, kuda terbang, ada Pangeran berkuda putih, tuan Putri yang cantik, kisah yang sempurna yang hanya ada di negeri dongeng menurut beberapa orang. Namun, tidak utuk gadis yang kini menginjak usia 20 tahun baginya cerita dan negeri dongeng suatu hal yang nyata. Gadis yang masih duduk di bangku kuliah ini yang juga berprofesi sebagai penyiar radio ini percaya kalau suatu saat dia akan mendapatkan seorang Pengeran yang selalu ada di dalam dunia hayalannya, dia aneh tapi bukan hanya dia mungkin ada orang lain yang seaneh dia.
            Gadis yang biasa di sapa Putri Asaufa ini bahkan tak jarang berprilaku bak Putri kerajaan  dari negeri dongeng. Sikapnya yang lembut, bicaranya yang sopan, bertingkha anggun, kata – kata yang bijak saat menyelesaikan masalah dia benar – benar mencerminkan seorang Putri Raja. Bahkan para pengemarnya di radio sangat suka curhat pada Putri Asaufa, mereka semua rata – rata senang mendengar cara Putri Asaufa bicara dan nasehat yang ia sarankan.
            Walaupun ia bukan keturunan asli kerajaan dan bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, tapi Putri Asaufa bisa beretika dengan baik.
            “Tuan Putri Asaufa” mendengar suara itu Putri Asaufa langsung menoleh keasal suara dan menebarkan senyumnya lagi.
            “hal apa yang membuat anda melamun tuan Putri?” tanyak suara itu lagi namun lagi -  lagi Putri Asaufa hanya menebarkan senyumnya.
            “Pangeran Edga?” sambung suara itu lagi.
            “hm, Pengeran Edga aku tidak bisa menghilangkan bayangannya dari ingatan ku”
            “uff ayolah malam ini aku menginap di rumah mu bukan ingin mendengar cerita Pengeran Edgamu itu” kata gadis yang sering disapa Rena itu sambil membaringkan tubuhnya di samping sahabatnya Putri Asaufa.
            “tapi Pangeran Edga itu nyata” kata Putri Asaufa ikut berbaring.
~Ooo~
            Sebuah tempat yang sangat indah dimana mereka selalu bertemu dan mengenal satu dengan yang lain. Sebuah hutan yang di penuhi dengan aneka tumbuhan – tumbuhan indah, mungkin jika kita melihat tempat ini kita akan berpikir kalau kita sedang ada di Wonderland atau Neverland tempat para peri dan Patarpan berada.
            Dimana tempat itu sangat indah dan penuh dengan keajaiban tapi sangat berbahaya, Neverland Paterpan dan Pink atau Tingkelbell selalu harus bertarung dengan bajak laut si Kapten Hook untuk menjaga wilayah mereka dan Wendy si manusia cantik yang datang ke Neverland bersama saudara – saudaranya.
            Namun, tempat Pangeran Edga dan Putri Asaufa bertemu bukan lah tempat sebahaya itu, tempat ini sepi tidak ada satu pun terlihat makhluk lain yang berbetuk manusia seperti mereka. Disini hanya terdengar suara kicauan burung yang merdua atau suara binatang – bintang lain yang lucu dan tidak berbahaya, di tempat ini juga ada sepasang Vegasus dan sepasang Unicorn yang dianggap hanya sebagai makhluk mitologi, juga ada kuda putih yang biasa di tunggangi sang Pengeran.
            Hari itu Putri Asaufa datang kehutan yang sepi itu menulusuri hutan di temani sang unicorn, yang nampak celinggak – celingguk tengah mencari Pangeran Edga mungkin. Alunan suara harmonica terdengar merdu di tengah hutan, kaki Putri Asaufa terus melangkah hingga bayangan sosok laki yang tengah bersandar di pohon membuat ia tersenyum. Putri Asaufa terus mendekat menatap lekat pemuda yang tengah memejamkan matanya itu.
            “anda lama Tuan Putri” tutur pemuda yang masih menutup matanya itu.
            “maafkan saya Pangeran” ucap Putri Asaufa dan ikut duduk di sampingnya.
            Pemuda yang di panggil Pangeran itu tidak mengatakan apa pun ia hanya diam dan kembali memejamkan matanya.
            “selain harmonica, buku apa yang di tangan anda Pangeran?” tanyak Putri Asaufa yang di selimuti rasa penasarannya.
            “Peterpan, kamu ingin membacanya?” tawar sang Pangeran menyodorkan buku itu pada Putri Asaufa.
            “tidak, aku ingin Pagerena Edga membawa ku jalan – jalan dengan kuda itu” kata Putri Asaufa sambil tersenyum manis.
            Pangeran Edga tidak menjawab apapun permintaan Putri Asaufa, tapi setidaknya dengan ia tersenyum dan berdiri tegap bisa di simpulkan kalau ia bersedia mengabulkan permintaan sang Tuan Putri.
            “terimakasih” ucap Putri Asaufa dihiasi senyum manisnya.
            Dengan pelan kuda putih Pangeran Edga berjalan membawa mereka berdua menggelilingi hutan indah itu. Sepanjang hutan yang mereka telusuri semua binatang berdiri menatap mereka seakan tersenyum bahagia melihat Pangeran dan Putri itu.
            “Pangeran” panggil Putri Asaufa, ketika kuda yang mereka tunggangi berhenti disebuah sungai yang di suguhi pemandangan air terjun.
            “ya” sahut Pangeran Edga lembut.
            “mereka tidak percaya kalau Pengeran itu ada” kata Putri Asaufa, Pangeran Edga menarik sudut bibirnya dan membentuk sebuah senyum yang manis.
            “apa orang yang ada disekeliling Pangeran percaya aku ada?” tanyak Putri Asaufa lagi.
            “tidak. Tapi bagiku Putri itu ada dan nyata” kata Pangeran sambil tangannya membelai lembut rambut Putri Asaufa.
            “selain tempat ini, aku punya tempat favorit lain Restoran Raja meja 8 aku sering kesitu” ucap Putri Asaufa.
~Ooo~
            “Edga, banggun sayang sudah pagi” suara itu menggema membuat si pemilik nama spontan melompat dari kasur king zinenya.
            Sedikit merapikan penampilannya ia langsung berlari dan membuka pintu kamarnya, sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum lembut padanya.
            “selamat pagi Ibunda” sapanya sambil memeluk Ibundanya.
            “selamat pagi juga Pangeran Edga Dhafir, apa acara kamu hari ini?”
            “hmm ananda ingin kembali ke Indonesia”
            “Apa? Kamu serius”
            “Ma 15 tahun kita telah meninggalkan Indonesia dan Edga gak pernah balik ke Indonesia jadi saat ini Edga ingin kembali kesana”
            “hmm kalau itu sudah keputusan kamu apa yang bisa Mamah lakukan, silahkan kembali ke Indonesia”
            Edga masuk kekamarnya mandi menyiapkan pakain dan barang yang kan ia bawa, juga menghubungi seseorag untuk memesankan tiket pesawat untuknya. Setelah semua keperluan beres Edga turun keruang makan dengat tas ransel yang sudah bertengker di bahunya. Mereka melakukan aktifitas makan dalam diam hanya tersengar suara sendok dan piring saat bertemu. Selesai makan anggota keluarga itu pun saling menatap.
            “Ayah dengar dari Mamah kamu akan kembali ke Indonesia?” tanyak sang kepala keluarga menatap anak mereka.
            “iya” jawab Edga singkat.
            “hmm Ayah izinkan”
            “makasih Yah”
            “di sana jaga lah dirimu baik – baik”
            “hmm”
            Setalah menempuh jarak yang lumayan Edga pun tiba di Indonesia, Edga berdiri di luar bandara sambil mengamati secercik kertas yang di berikan ibunya. Isi kertas itu adalah alamat tantenya, selesai mengamati kertas itu Edga menarik nafas lalu memanggil taxsi. Di taxsi Edga kembali mengambil kertas itu dandi tunjukan pada sopir taxsi.
            Di taxsi Edga terus memikirkan Mimpinya, hingga suara radio yang disetelah oleh supir taxsi menyadarkannya dari lamunannya itu.
            “pak siapa penyiar itu?” tanyak Edga penasaran.
            “hmm dia sering menyebunya dengan Tuan Putri, anda suka?” tanyak Supir Taxsi, Edga hanya diam.
            ya buat kamu yang tadi udah hubungi kita, kamu boleh saja ingin bersama si dia tapi kamu jangan sampek menyakiti hati orang tuamu. Yakinkah orang tua mu dengan cara yang baik dan jangan sampek kau menyakiti mereka dan…’
            “pak, bagaimana cara menghubunginya”
            “oh gampang tuan, ini anda bisa pakek ponsel saya, saya sering curhat pada Tuan Putri” kata supir taxsi dan menyerahkan ponselnya.
            “hallo, rsetoran Raja meja delapan” kata Edga dan menutup sambungan telponnya.
Ooo
            Putri Asaufa, terdiam saat mendengar suara penelpon misterius tadi yang tidak menyebutkan alamat bahkan namanya. Putri Asaufa meneteskan air matanya lalu ia berlari keluar dari ruang penyiaran, suasana pun sediki kacau. Acara yang dibawakan Putri Asaufa pun di tutup begitu saja.
            “kau mau kemana?” tanyak rekannya yang mengejar Asaufa.
            “mencari mimpi ku” kata Putri Asaufa dan kembali berlari.
            Dengan air mata yang bercucuran, Putri Asaufa pergi ke restoran Raja dia berdiri di Restoran itu dan mengamati Restoran yang ramai itu. Dia melangkah kan kakinya untuk masuk ka dalam Restoran, matanya terpaku saat melihat sosok yang tengah duduk di meja nomor 8.
            Merasa di perhatikan sosok pemuda itu berpaling kearah Asaufa, mata terkejut menatap siapa yang tengah memandangnya. Tanpa di perintah kaki itu melangkah mendekati Putri Asaufa, dia menarik Putri Asaufa. Mereka berpelukan lama soalah sudah tidak bertemu sangat lama, bahkan rasanya kini waktu berhenti menyaksikan mereka.
            Mereka terus melepaskan rindu, hingga pelan-pelan suasana restoran berubah, mereka seperi masuk kedimensi lain. Di mana disitu hanya ada mereka berdua yang sedang sangat bahagia. Burung-burung terasa bernyanyi gembira melihat mereka yang menyatu. Pelan-pelan pelukan erat itu mulai mengedor, mereka pun kembali ker restoran raja dan semua pelanggan kini sedang menatap mereka dengan ekspresi yang berbeda-beda.
            “kau nyata” itulah kata yang terlontar dari mulut mereka berdua. Keduanya pun tersenyum bahagia dan kembali berpelukan.
Ooo
            Putri Asaufa terlihat sangat cantik dengan gaun hijau lumutnya, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Dia sangat senang hari yang ia tunggu akhrinya tiba juga, dia sempat pikir mimpinya selamanya akan menjadi mimpi.
Tok…tok..tok
            Suara ketukan pintu itu membuatnya mengalihkan pandangannya kearah pintu, dia melihat dua sosok pemuda yang masih asing baginya.
            “hay, aku Wiliam teman sekampusnya Edga, ah aku kembali ke Indonsia untuk menghadiri pernikahannya, aku gak menyangka itu” kata Wiliam sambil menjabat tangan Putri Asaufa.
            “dan aku Kim Jo Ah, kau sangat cantik tuan Putri Asaufa, kau wujud nyata dari putri impiannya Edga” kata Kim Jo Ah dengan bahasa Indonesia yang berlepotan.
            “kalian pikir Cuma kalian, aku bahkan menganggap sahabat ku ini gila, menunggu Pangeran Hayalannya, tapi kenyatanyaanya hari ini mereka akan menikah” kata Sahabat Asaufa yang ikut masuk.
            “khem, kalian kesini ingin menjemput ku atau ingin berpendapat disini”
            “hahahaha kami mau menjemputmu, ya sudah ayolah”
            Putri Asaufa diiring ke pelaminan yang serba hijau itu bahkan terkesan mereka sedang di dalam hutan. Hutan di mana mereka sering berjumpa di dalam mimpi mereka. Pengeran Edga tersenyum menyambut kedatangan Tuan Putrinya. Mereka terlihat sangat serasi keduanya cantik dan tampan, dan kedua nya benar-benar terlihat seperti Pangeran dan Putri.
            “aku sangat senang kau nyata” bisik Putri Asaufa.
            “aku juga sangat gembira bisa menikahi mu” bisik Pengeran Edga.
            “semoga kita selamanya bersama”
            “amin” keduanya pun bergendengan tanggan dan tersenym bahagia, yang menyaksikan adegan itu pun ikut gembiran.
            Walaupun jujur mereka masih menganggap penganti baru itu aneh. Sering bertemu dalam mimpi, mencari keberadaan. Sehari bertemu dan langsung memutuskan untuk menikah, acara pernikahan yang hanya disiapkan dalam waktu 2 minggu benar-benar pasangan aneh. Mungkin begitulah pandangan mereka, tapi mereka dapat merasakan cinta yang kuat diantara mereka.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                END


Valeya dan Kutub Utara




            Penyihir macam apa yang hidup di masa sekarang, apa dia punya sapu terbang, tongkat sihir atau jubah dan topi hitamnya itu. Kalau di sekitar kita ada hal seperti itu gimana caranya kita tau, apa dengan membuat dia kesal dan ia akan berubah atau mengeluarkan sihirnya. Itulah yang kira – kira sedang di bahas Valeya, Citra dan Bella.  Ketiga gadis yang sudah akrab saat pertama kali menginjak kan kakinya di salah satu Universitas di kotanya ini, memang mempunyai hobby yang sama yaitu membahas tentang penyihir, sebenarnya kedua temannya itu yang ikut – ikut Valeya saja.
Valeya maupun kedua temannya memang senang membahas topic ini, tapi mereka gak percaya kalau hal semacam itu ada. Sampek saat ini mereka belum percaya kalau orang yang bisa mengendalikan waktu, mengeluarkan kekuatannya di tangan mereka itu ada, apalagi  memiliki barang – barang penyihir. Bukankah barang – barang seperti itu banyak di jual.
Dan kali ini dalam pembahasan mereka sedikit berbeda, pasalnya dari tadi dari mulut mereka terdengar nama Viras Armit disebut – sebut. Viras Armit adalah sosok kakak letting yang gak banyak bicara, tapi ramah baik juga sangat pandai. Namun, Valeya bilang Viras adalah cowok paling dinggin yang pernah ia temui, bukan dinggin dalam artian irit kata – kata, tapi suhu bandan Viras memang sangat dinggin.
Valeya yang pernah gak sengaja bersetuhan dengan Viras sempat sangat terkejut saat tanggannya bersetuhan dengan tanggan Viras. Valeya sendiri menganggap ini hal yang wajar karena saat itu masih pagi, tapi tetap saja Viras jadi topic pembicaraannya.
Mereka yang sedang serius membicarakan Viras gak sadar kalau sang objek pembicaraan dari tadi menguping pembicaraan mereka. Dia menarik sudut bibirnya saat mendengar penuturan Valeya yang polos itu ‘kalau penyihirnya segantang Kak Viras aku mah rela kalau hati ku di bekukan hanya untuk dia’.

Ooo
Bulan telah menyapa, Valeya Anadia terlihat sedang melakukan aktivitasnya seperti biasa. Dia sedang berkutik dengan laptop kesangannya, dan melakukan hobbynya selain membicarakan sihir, yaitu menulis cerita sihir. Kisah yang ia tulis hampir semuanya sama, tapi bagi Valeya itu belum terlalu penting yang penting apa yang ia pikirkan bisa menjadi sebuah cerita.
Di malam yang indah ini selain mengetik ceritanya, Valeya juga tengah di bayang – bayangi wajah Viras. Obrolannya tetang Viras dengan teman – temannya itu tadi membuat Valeya blank, dan di dalam pikirannya ini sekarang hanya ada Kak Viras Armit
Bahkan di jam yang sudah semalam ini Valeya melihat Viras tengah berdiri di jendela kamarnya dan menatap Valeya dengan lembut. Valeya membalas tatapan itu sambil memperlihatkan senyum manisnya. Kaki jenjang milik Viras kini mendekat kearah tempat tidur Valeya.
“kau percaya tentang sihir?” tanyak Viras yang menundukan kepalanya menatap mata Valeya dari dekat.
“eh? Ini nyata” Valeya malah terkejut saat sadar kalau Viras sedang berbicara dengannya sekarang. “bagaimana Kakak bisa masuk kesini? Dan di jam selarut ini” sambung Valeya.
“apa pendapatmu tentang penyihir atau kekuatan sihir?” bukannya menjawab Viras malah mengacuhkan pertanyaan Valeya dan menayakan hal lain padanya.
“sihir? Kekuatan mistik, tapi Valeya gak percaya kalau sihir itu kekuatan dukun gelap. Tapi sihir adalah kekuatan penyihir, seperti nenek sihir” kata Valeya semangat.
“belum tentu yang memiliki sihir adalah nenek sihir” kata Viras.
“kenapa enggak, aku sering melihat kalau yang punya sihir itu adalah nenek sihir” keras Valeya dengan pendapatnya.
“bagaimana dengan peri?” tanyak Viras. Valeya terdiam sejenak menanggapi pertanyaan Viras.
Otak Valeya terus berputar untuk membantah pendapat Viras, Valeya terus mengoceh tentang pendapatnya mengenai sihir, Viras yang tadinya berdiri kini duduk di samping Valeya. Valeya masih bersikeras kalau yang punya sihir dan di sebut penyihir adalah nenek sihir, peri tidak termasuk dalam katagori itu.
“bagaimana kalau aku penyihirnya? Apa aku juga nenek sihir?” pertanyaan Viras berhasil membungkam kan mulut Valeya.
“…” hening.
“bagaimana kalau aku bilang aku memiliki kekuatan sihir?” tanyak Viras lagi.
“…” Valeya masih diam dan memandang Viras.
“bagaimana kalau aku keturanan peri es?” tanyak Viras lagi, dan kali ini membuat suasana di dalam kamar berubah.
Valeya membulatkan matanya saat melihat kondisi kamarnya sekarang, ini di luar logika manusia. Namun, ini jelas terjadi di depat matanya, suhu di kamar Valeya berubah menjadi dinggin dan dihiasi salju.
“mustahil, aku suka sihir tapi gak mungkin ada yang memiliki kekuatan itu” gumam Valeya antar terkejut dan takjub.
“kami ada, aku buktinya aku keturanan Peri es dan aku bukan nenek sihir” kata Viras sambil tersenyum. “kau ingin seperti ku?” sambung Viras lagi, dan Valeya menganggukan kepalaya. “tutup matamu!” printah Viras.
Sesuai intruksi Valeya menutup matanya, Viras membuka mulutnya dan sebuah bola yang bersinar keluar dari mulutnya. Dia menggengap bola itu dan menatapnya dengan eksprisi yang sulit di artikan, lalu Viras menyuruh Valeya membuka mulutnya. Setelah mulut Valeya terbuka bola yang bersinar itu dengan sendirinya masuk ke mulut Valeya.
“kau orang yang tepat” bisik Viras.

Ooo
Tring…tring…tring
Suara jam weker yang nyaring itu mengintruksi Valeya banggun dari tidur lelapnya, lalu ia duduk di atas tempat tidur. Otaknya kembali memutar pembicaraannya dengan Viras yang terkesan sangat nyata, namun sayang itu semua hanya mimpi indahnya.
Valeya menguap dan merentangkan otot-otot tegangnya, baru mau turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi suara Sunu sang kakak kesayangan menggagetkannya.
“Valeeeeeeee cepat kita bisa teralmbat” teriak Sunu dengan nada yang terdengar kesal.
15 menit kemudian Valeya keluar dari kamarnya dan bergabung dengan keluarga kecilnya, Sunu menyambut Valeya dengan tatapan horornya. Dia kesal semejak Valeya bergabung di Universitas yang sama dan di jurusan yang sama dengannya, Sunu selalu saja terlambat.
Walau bersaudara mereka berdua memiliki banyak perbedaan, yang salah satunya masalah banggun pagi. Sunu selalu banggun lebih cepat dari Valeya, karena hal ini mereka sering berdebat tentang siapa yang pantas jadi cowok dan siapa yang pantas jadi cewek.
“Pah bilang sama anak kesayangan Papah ini kalau sekarang kita harus berangkat” kata Sunu, mendengar penuturan sang Kakak Valeya malah senyam-senyum.
“Pah kami pamit dulu ya” ucap Valeya.
“Sunu kamu nyetirnya hati-hati ya” nasehat Papah.
Di perjalan Sunu terus bercoleteh tentang sikap Valeya yang tidak pernah berubah dan selalu saja tidak bisa menjadi seorang gadis yang elegan seperti gadis pada umumnya. Dia kecewa pada adik perempuan satu-satunya yang lebih ia rasakan seperti adik laki-laki untuknya. Dia juga sangat menyesal menyetujui usulan Papah untuk satu Universitas dan satu jurasan dengan Valeya, kerena dengan hadirnya Valeya merusak gelar Sunu sebagai Mahasiswa paling tepat waktu di jurusannya dan tentu saja di unitnya. Namun, semejak kehadiran Valeya, Sunu hanya bisa mengwujud kan hal itu dalam mimpinya.
“Kak udah jangan ceramah lagi pagi-pagi, kitakan sudah sering membicarakan ini” bantah Valeya, muka Sunu mulai memerah saat mendengar perkataan Valeya.
“kamu, memang gak pernah berubah. Aku kasian sama Papah yang selalu meyalah kan dirinya karena tidak bisa membuat kamu menjadi seperti keingina Ibu. Seharusnya kamu bisa mengantikan posisi Ibu bukannya menjadi seperti ini” kata Sunu dengan suara yang agak keras, tanpa diprintah air mata menetes membasahi pipi Valeya.
Suasana yang terciptakanpun jadi aneh, keduanya Cuma dia larut dalam pikiran masing-masing. Sunu yang tengah menyesali ucapannya, dan Valeya yang tengah merenungi perkataan jujur Sunu.
“maafkan Kakak” ucap Sunu lalu menyesal.
“enggak Kakak gak salah, oh ya Vale gak mau mengantikan posisi Ibu tapi Valeya akan berusaha menjadi seperti yang Kakak dan Papah ingin kan” ujar Valeya yakin sambil mengubarkan senyum manisnya, Sunu membalas dengan senyum terbaiknya. “oh ya Kakak tau kenapa hari ini Valeya benggun telat?”
“memang kenapa? Mana Kakak tau kamu belum cerita” kata Sunu masih focus pada acara menyetirnya.
“karena Viras Armit, aku memimpikannya memiliki kekuatan sihir” kata Valeya semangat sambil nyenggir.
“uff ampun deh” respon Sunu sambil menarik nafas berat.
Ooo
            Setiba dikampus Valeya masuk ke kelasnya dan Sunu ke kelasnya. Di dalam ruangan Sunu terlihat teman-teman baiknya telah datang dan menatapnya dengan tatapan mengejek. Pasalnya Sunu kembali memecahkan rekor terlambat paling lama, coba saja kalau ada dosen pasti ia akan di pastikan untuk belajar di luar sekarang.
            “telat lagi, seperti rekormu harus diganti sekarang tuan” ejek salah satu teman Sunu yang biasa disapa Helmy.
            “alasan apa lagi yang adek loe gunakan hari ini?” tanyak yang lainnya tanpa menatap Sunu.
            “gara-gara Viras Armit” kata Sunu yakin, Viras yang duduk dekat jendela ruangan itu pun sempat menghentikan aktivitas membacanya.
            “kenapa loe natap gue gitue?” tanyak Viras yang merasa di perhatikan oleh Sunu.
            “kalau loe yang merusak mimpi adek gue atau membuatnya lebih baik tidak masalah” kata Sunu santai dan duduk di samping Viras.
            “dan kalian akan menjadi saudara yang menyenangkan” kata seorang teman yang biasa mereka sapa Tio itu.
Ooo
            Jam makan siang, semua mahasiswa memadati katin kampus disana terlihat Sunu, Viras dan teman-temannya yang sedang duduk dengan tenangnya siap menyatap makan siang mereka. Dan tak jauh dari situ terlihat Valeya dan teman-temannya yang tengah menatap kearah Viras.
            “kalau loe yakin, loe pastiin sekarang” kata Bella dan mendorong Valeya.
            Valeya menarik nafas, lalu melangkah pasti mendekati tempat Viras berada. Tujuannya sekarang adalah menepati kursi kosong di samping Viras dan mengenggap tangganya. Langkah Valeya makin dekat, dan entah kebetulan Viras mengukir sebuah senyum misterius.
            “kosongkan?” sesorang mengajukan pertanyaan dan langsung duduk di samping Viras tanpa menunggu jawaban dari Viras dan tema-temannya.
            “aish, nyebelin” gumam Valeya, tapi ia tidak menghentikan langkahnya dia tetap mendekat kearah Viras.
            Valeya berdiri tepat di belakang Viras, Sunu yang melihat langsung menyapa adik perempuannya itu. valeya tidak peduli dengan sapaan Sunu yang ada di benaknya sekerang hanya menyentuh Viras. Valeya kembali menarik nafas, lalu dengan cepat ia menyetuh tangan Viras yang sedang memegang sendok.
1 detik…
2 detik…
3 detik…
4 detik…
            “kya Valeyaaa apa yang kamu lakukan?” tanyak Sunu seperti pak lurah yang menangkap pasangan mesum, sedangkan Viras dan Valeya Cuma menunujukan ekspresi biasa. Lalu Valeya langsung berjalan meninggalan Viras dan teman-temannya. Valeya kembali pada teman-temannya dan mengatakan apa yang dia rasakan pada mereka. Sedangkan Sunu dan teman-temannya memasang ekspresi aneh kecuali Viras yang melanjutkan acara makannya.
            “itu hanya mimpi, tanggan tidak dinggin”
Ooo
            Ke esokan harinya walaupun telah memastikan sendiri tangan Viras, Valeya masih negarasa kalau Viras adalah peri es. Buktinya hari ini saat Viras dan teman kakaknya yang lain Valeya hanya menatap Viras, ia masih penasaran dengan Viras.
            Saat ini ekor mata Valeya menatap Viras yang pergi ke dapur dan tanpa di perintah kakinya mengikuti langkah kaki Viras. Dia terus memperhatikan Viras yang tengah meneguk air putih itu.
            “ada apa?” tanyak Viras tanpa menatap Valeya.
            “Kakak memiliki sihir kan?” pertanyaan bodoh itu langsung meluncur dengan bebasnya dari mulut Valeya, Viras hany tersenyum mendengar pertanyaan itu.
            “atas dasar apa kamu menanyakan hal itu hmm?”
            “Kakak memiliki suhu tubuh yang dinggin kakak penyihir tidak masuk aku kaka peri es iya kan?”
            “bukan, aku vampire dari kutub utara” jawab Viras ngasal dan niat untuk meninggalkan Valeya di dapur.
            “tidak tunggu, Kakak bisa mengeluarkan kekuatan dengan cara ini” kata Valeya sambil menunjuk kearah Viras.
            Mata Valeya membulat saat melihat kejadiaan aneh di depan matanya, entah kebetulan atau memang dari tanggan Valeya salju turun di dapur dan hawa menjadi dinggin. Viras yang menyaksikan kejadian itu lagi-lagi mengukirkan senyum dari bibirnya.
            “aku atau kau yang mempunyai kekuatan sihir Valeya Anadia, apa aku harus mengrahasiakan ini?” tanyak Viras.
            “gak mungkin ini terjadi, ini mustahil”
            “ini kenyataannya” jawab Viras sambil menjentik kan jarinya, salju dan hawa dinggin tadi pun lenyap.
            “kau pun sama” kata Valeya saat kembali melihat kejadian aneh di depan matanya.
            “entahlah mungkin ini sudah takdirnya, peri es” kata Viras tersenyum dan benar-benar meninggalkan dapur.
            “peri es, kekuatan sihir aku suka itu hehehe” ucap Valeya sangat senang.
            ‘rahasiakan ini, kalau tidak kau dalam bahaya’
            “eh kenapa aku bisa mendengar suara Kak Viras dia kan gak disini?” tanyak Valeya pada dirinya sendiri.
            ‘bukan hanya hari ini kita akan selalu bisa berkomunikasi seperti ini, oh dan aku mau bilang kalau aku menyukai mu Valeya’ kata suara Viras.
            “apa maksudnya?” tanyak Valeya, tapi kali ini dia tidak mendapat jawaban dari Viras.
            Kesal dengan sikap Viras, Valeya lansung menghampiri teman kakaknya itu yang tengah berkumpul dengan yang lainnya. Valeya menatap Viras menuntun penjelasan, yang lain memandang heran.
            “apa maksud mu tuan Viras Armit?”
            “apa kurang jelas aku menyukaimu sangat menyukai mu dank au yang berhak memilikinya makanya aku berikannya pada mu” jujur Viras di depan Kakak sekaligus Papah Valeya yang baru pulalang kerja.
            “aisy apa yang kau lakukan apa harus di sini juga” keluh Valeya malu melihat kondisi di sekitarnya.
            “sepertinya kau akan bersaudara dengan Viras” ujur Tio.
            “kenapa apa aku salah lagi? Bukankah kau yang menyuruhku untuk menjelaskan semuanya, apa aku harus melamar mu sekarang?” tutur Viras ringgan
            “diam lah! Kita bicarakan ini nanti saja” kata Valeya dan berlari ke kamarnya.
            “maaf Om telah membuat kekacauan” ujuar Viras, Papah Valeya hanya tersenyum saja.
            “khem bakal saudara nie ya” goda Tio lagi.
            ‘dasar bodoh apa yang Kakak lakukan, tapi aku juga menyukai kakak’ ujar batin Valeya, dan Viras tersenyum senang.

                                                                                                                        END                                                                                                                                                                                                                                                    

Tidak Seharusnya


            Jatuh cinta memang indah, tapi cinta yang sedang menghampirinya sekarang adalah salah tidak seharusnya kisah ini terjadi. Dia harus mengalah untuk orang yang sangat berarti dalam hidupnya, dia harus mencari orang lain yang bisa menghibur hatinya. Khalisa begitulah ia biasa di sapa gadis ini memilih pergi dan meninggalkan kotanya, ia harus benar-benar merelakan cintanya untuk hidup bahagia dengan orang yang juga sangat berarti untuknya.
            Namun, semakin jauh ia pergi rasa cintanya makin besar pada pemuda yang sudah rela berkorban untuknya. Seorang pemuda yang dengan ikhlas menolangnya, walaupun bahaya paling fatal adalah nyawanya sendiri. Pemuda itu dengan yakin rela mendonorkan ginjalnya untuk Khalisa, agar Khalisa bisa bertahan hidup. Bukan hanya itu pemuda yang memiliki nama lengkap Givan Aryanda ini juga sering sekali menolong Khalisa saat ia kesusahan. Jika kisahnya seperti ini apa salah Khalisa mencintai Givan.
            Uff Khalisa menarik nafas berat saat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin, otaknya masih memutar kisahnya dengan Givan dari pertama ia bertemu sampai pertemuannya kemaren. Kemaren Givan yang memakai t-shirt warna dongkernya terlihat sangat tampan, apalagi di tambah senyum manis yang  selalu ia ukir di bibir tipisnya itu.
            “tidak seharusnya aku memulai kisah ini” gumam Khalisa sambil mengarahkan pandangannya keluar jendela, ia melihat hujan mulai membasahi bumi seakan alam pun mengerti rasa yang sedang ia rasakan sekarang.
            “nak taksinya udah datang” suara wanita paruh baya itu menyadarkan Khalisa.
            Khalisa membalikan badannya dan menatap wanita paruh baya yang telah melahirkannya dan membesarkannya. Khalisa melemparkan senyum manisnya pada wanita yang masih terlihat cantik itu.
            “semuanya udah beres sayang?” tanyaknya dengan suara lembutnya.
            “udah Ma semuanya udah beres” jawab Khalisa lembut dan mengambil kopernya.
            Keluarga Khalisa mengatarnya hingga di gerbang rumah, semua barang-barang yang akan ia bawa sudah di masukan ke dalam taxsi. Mamah memeluk Khalisa lama melepaskan kepergian anak kesayangannya itu, begitu halnya dengan sang Papah yang terlihat berat melepaskan putrid kecilnya yang sudah dewasa itu. setelah pelukan dengan orang tuanya, Khalisa memandang kedua Abangnya yang memasang wajah cemberut.
            “Bang Andre Bang Wildan, Khalisa pamit ya kalian jaga Mamah sama Papa dengan baik ya” kata Khalisa menatap kedua Abangnya itu.
            “kenapa kamu pergi? Kita yang cowok aja gak pernah tue ninggalin rumah” kata Wildan yang mulai angkat bicara walaupun ia tidak memandang adik kesayanganya itu.
            “iya tue, kamu anak cewek satu-satunya di rumag kita apa kam tidak bisa tinggal?” tanyak Andre.
            “uuff Abang, Khalisa pergi itu Cuma kerumah Uwak kok, lagian kalian tau kan kalau Khalisa mau nyelesain skripsi Khalis siapa tau disana Khalisa lebih tenang” jelas Khalisa dan kedua Abangnya menatap mengerti.
            ‘sekalian aku mau lupain Givan’ sambung batin Khalisa perih.
            “baiklah adik ku sayang Abang-abang mu sangat mengerti” kata Andre memeluk Khalisa.
            “Abang sama Bang Andre akan selalu menjaga Mamah dan Papah” ucap Wildan ikut memeluk Khalisa.
            “sudah-sudah, nantin Khalisa ketinggalan bis kekampung Uwak” tutur Papah sambil melemparkan senyum manisnya pada anak-anak tersayangnya.
            Setelah ucap perpisahan itu Khalisa pun masuk kedalam taxsi dan beramgkat ke terminal bus. Keluarganya memang gak mengantar Khalisa sampek ke terminal bus karena itu permintaan Khalisa sendiri. Melihat keluarganya yang tersenyum sedih, Khalisa pun sempat memasang wajah sedihnya namun hanya sekejap saja.
            Taxsi yang di tumpangi Khalisa makin jauh meninggalkan kediaman keluarga Khalisa,  Khalisa kembali menarik nafasnya saat manatap keluar. Seakan hujan itu kembali membuat dia mengingat masa lalunya. Sakit perasaan itulah lagi-lagi menghampiri hati Khalisa.
Dret…dret…dret
            Tengah focus melamun Khalisa di kejutkan dengan gataran Hpnya, Khalisa membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Menarik nafas sebentar, lalu Khalisa menekat tombal hijau untuk menjawab panggilan masuk itu. Khalisa tersenyum saat mendengar suara semangat di seberang sana, dia terus saja mendengar ocehan lawan bicaranya.
            Khalisa bahagia bisa mendengar suara sahabat yang sangat berarti dalam hidupnya, seorang sahabat yang selalu ada untuknya. Sahabat yang rela menghabisakan air matanya karena takut saat mendengar fakta tentang penyakit yang di derita oelh Khalisa. Dia juga sahabat yang sama yang tersenyum bahagia saat tuhan memberikan Khalisa untuk melanjutkan hidupnya melalui bantuan Givan yang rela mendonorkan ginjalnya untuk Khalisa.
            ‘Khalis loe ada di rumah kan? tadi saat gue telpon Givan katanya dia akan kerumah loe’
Deg
            Mendengar perkataan itu seketika rasanya waktu berhenti, ada perasaan takut yang mengahampiri Khalisa. Ia takut jika keluarganya mengatakan kelau ia telah meninggalkan kotanya. Bahkan pendenggaran Khalisa kini tidak mengindahkan panggilan sahabatnya itu, dalam pikirannya hanya ada Givan saja.
            ‘Khalis loe masih ada di sana kan?’ tanyak suara di seberang sana yang tak kunjung dapat jawaban dari Khalisa.
            ‘ya udah deh mungkin sinyalnya jelek’ sambung suara itu dan memutuskan sambungan telpon.
            Dengan masih di hampiri perasaan cemas, Khalisa tiba di terminal bus ia menatap bus yang menuju ke Sumatra Utara Khalisa menarik nafas dalam lalu berjalan melalui bus itu ia memutuskan membelikan tiket lain.
            Khalisa memperhatikan atrian yang masih panjang itu, matanya menyapu setiap orang di sekelilingnya hingga ia menemukan satu sosok yang ia kenal. Sosok itu terlihat tengah celingak-celingguk dan sosok itu terlihat tengah mengobrol dengan satpam yang ada di terminal bus lalu sosok itu menghampiri bus menuju Sumatra Utara.
            “Mbak ini tiketnya” suara itu menyadarkan Khalisa, ia buru-buru megambil tiket itu dan berlalu menuju bus yang akan membawanya ke Aceh.
            ‘maafkan aku Givan, aku harus pergi meninggalkan kamu dan semuanya aku gak sanggup bertahan di sampingmu’ batin Khalisa yang di temani tetes air matanya.
            Di sisi lain Givan terlihat seperti orang yang benar-benar kebinggungan ia turun dengan perasaan lesu saat ia tidak menemukan Khalisa di situ. Ia menatap sendu bus yang menuju Sumatra Utara itu, ia putus asa dia gak tau lagi harus mencari sahabat baiknya itu kemana lagi.
            “sebenarnya kamu pergi kemana Khalis” ucap Givan frustasi bahkan ia tidak peduli dengan hujan yang membasahinya. Ia hanya ingin tau kemana ia harus mencari Khalisa.

>Ooo<
          Setelah menempuh jarak yang lumayan melelahkan akhiranya Khalisa tiba juga di Aceh tepatnya di Kota Matang GLP II. Khalisa merentangkan tanggannya seolah ia lagi mengatakan selamat datang pada masa depannya. Khalisa mengalihkan pandangannya ke seluruh terminal, yang tentu saja sangat berbeda dengan terminal di kota Sumatra Barat tanah kelahiran ibunya dan juga tanah kelahirannya.
            Ia celinggak-celingguk mencari sosok yang mungkin ia kenal atau yang mengenalnya, yah setelah ia memutuskan ia akan ke Aceh, Khalisa cepat-cepat menghubungi Papahnya dan menannyakan alamat Uwaknya yang bernama Hayati. Papah dan yang lain sempat terkejut karena ia mengubah tujuannya, tapi setelah ia jelaskan dengan sedikit kebohongan keluarganya pun dapat mengerti, dan kali ini Khalisa telah melarang siapapun untuk mengatakan ke pada teman-temannya kemana Khalisa pergi termasuk Givan dan Amira.
            Pandangan Khalisa membaca sebuah nama yang tertera di sebuah kardu ‘anak Fahmi’ Khalisa tersenyum membaca tulisan itu yang ia yakini di tunjuk untuknya. Khalisa menghampiri orang itu dan menyapanya dengan ramah.
            “Pak Wa Hasnawi?” tanyak Khalisa, laki-laki setengah baya itu pun menganggukan kepalanya.
            “iya. Hmm itu Uwak Hayati dan Bang Fazil” kenalkan Pak Wa Hasnawi, Khalisa tersenyum melihat keluarga Papahnya itu.
            “kami terkejut saat Papahmu bilang kalau kamu akan kesini, kami pikir dia bercanda”
            “enggak Pak Wa Khalis memang ingin kesini” jawab Khalisa dengan suara lembutnya, sedangkan pemuda yang mungkin usianya seusia Bang Andre tengah mengangkat barang-barang Khalisa.
            “tapi kenapa rumah kami? Tempat kami di pelosok, kamu kan bisa ke tempat Bunda Raudha di Banda Aceh atau Pak Wa Abdullah di Sabang dan di……”
            “maaf Uwak Hayati, tapi Khalisa memang ingin ke tempat yang tenang seperti tempat kalian” potong Khalisa, Uwak Hayati pun melemparkan senyum dan merangkul keponakannya itu dengan penuh rasa sayang.
            Dari Kota Matang menuju kampong Pak Wa dan Uwaknya itu ternyata kembali menempuh jarak yang sangat jauh, bahkan Khalisa kembali tertidur di mobil yang di setir oleh Bang Fazil. Dan sekitar jam 2 pagi akhirnya Khalisa dapat merebahkan tubuhnya di kamar sederhana milik keluarga Papahnya itu. saat masuk ke kamar itu Khalisa mengukir sebuah senyuman ia ingin dulu saat ia masih kecil ia pernah tidur di kamar ini bersama ssaudara-saudaranya saat ada pesta pernikahan anak tertua Pak Wa.
            “tidur yang nyenyak besok saya akan bawa kamu jalan-jalan” tutur sepupunya yang ia tau bernama Wahyuni, Khalisa pun menganggukan kepalanya dan Wahyuni meninggalkan kamar tidur itu.
            Setelah Wahyuni keluar Khalisa mengambil ponselnya dan mengaktifkan ponsel putihnya itu, Khalisa menarik nafas lega saat ia lihat ponselnya tidak menangkap sinyal. Khalisa melempar ponsel ke kasur lalu ia pun ikut melemparkan tubuhnya ke kasur. Khalisa memejamkan matanya, dan begitu cepat kenangannya dan Givan hadir menemani tidurnya.
            Khalisa ingat saat ia dan Givan tengah sama-sama bercanda di kampus dan datang Amira yang memasang wajah cemberut. Khalisa bersama Givan pun berusaha menghibur Amira dan membuat mood nya kembali. Khalisa juga ingat saat Givan meneteskan air matanya karena Khalisa yang hampir jatuh pingsan, ia sangat ingat wajah khawatir Givan.
            “uuf, mending tidur” gumam Khalisa.
>Ooo<
            Esok sesuai janjinya Wahyuni pun membawa Khalisa jalan-jalan mengelilingi kampong nya, Khalisa benar-benar takjub melihat kampong Wahyuni. Bukannya ia tidak meliat pemandangan seperti ini di Sumatra barat, tapi di sana Khalisa tinggal di kota yang penuh dengan sesak orang dan debu polusi. Namun, saat ini Khalisa tengah berada di sebuah kampong yang sangat nyaman. Aliran air sugainya terdengar sangat indah, angin sejuknya dan pemandanga hijaunya juga terlihat sangat indah. Dan dari cerita Wahyuni, Khalisa mengetahui kalau penduduk di sini baru mulai membuka lahan sawit, dan pada dasarnya penduduk di sini banyak menjalini profesinya sebagai petani.
            “Yuni, kita main air di sungai ya? Aku mohon” bujuk Khalisa dan Wahyuni pun menganggukan kepalanya.
            Khalisa terlihat sangat menikmat permainannya, seolah bebannya tentang permaslahan cintanya yang rumit itu hilang sudah. Dan tak jauh dari arah dia dan Wahyuni bermain terlihat seorang pemuda tampan yang sedang bersama beberapa orang tua tengah memperhatikannya. Sesekali pemuda itu mengukir senyumnya saat melihat Khalisa terpeleset.
            Selesai bermain air, Khalisa merasa lapar ia dan Wahyuni pun memutuskan untuk makan mie di sebuah warung yang menurut Wahyuni sangat enak. Dengan baju yang basah Khalisa menjadi pusat perhatian apa lagi penduduk setempat tidak mengenalnya, tapi itu adalah Khalisa yang kurang peduli dengan pandangan orang-orang.
            Khalisa menyantap mienya dengan lahap, bahkan ia tidak menyadari kalau seorang pemuda yang tadi memperhatikannya di sungai kini kembali memperhatikannya. Pemuda itu lagi-lagi hanya bisa tersenyum melihat tingkah Khalisa. Namun, kali ini sepertinya ia akan di tangkap basah oleh Wahyuni yang sedari tadi juga mulai memperhatikan pemuda yang lumayan keren itu.
            “Kak Khalisa” panggil Wahyuni setengah berbisik, Khalisa menoleh kearah Wahyuni.
            “Kak, kayak pemuda yang sama Pak kechik (kepala desa) itu memperhatikan Kakak deh” bisik Wahyuni, spontan Khalisa langsung menolehkan kepalaya dan tersenyum pada pemuda yang ke tangkap basah oleh nya itu.
            “Yun, kamu tunggu disini ya! Aku mau bica sapa orang itu” ucap Kahalisa yakin dan bangkit dari duduknya.
            “eh? Jangan Kak” cegat Wahyuni, yang tidak di indahkan oleh Khalisa.
            Khalisa menghampiri pemuda itu dan lansung duduk di sampingnya, Khalisa menatap sinis pemuda itu yang mengkerutkan keningnya. Tanpa basa basi Khalisa langsung menanyakan kenapa pemuda itu memperhatikannya sedari tadi. Bukannya menjawab pemuda yang memakek kaos biru muda ini hanya tersenyum. ‘uuf’ Khalisa menghela nafas kesal melihat tingkah songgong pemuda sok keran itu.         
            “Arfan Syahreza, seorang pendatang yang sedang melakukan penelitian untuk skripsinya” kenal kan Arfan sambil tersenyum manis.
            “aku tidak menanyakan nama mu”
            “yah, ku pikirkan kau bisa membantuku hmm nona?”
            “dengar ya tuan Arfan Syahreza, aku juga pendatang disini, aku berasal dari Sumatra Barat, jadi aku tidak bisa membantu mu dan aku tidak ingin tau tentangmu” ucap Khalisa kesal.
            “ouh kamu lebih jauh, aku dari kota Banda Aceh” kata Arfan sambil tersenyum.
            “kamu ingin meneliti apa disini?” tanyak Khalisa dengan ekspresi judesnya.
            “kamu bilang kamu gak ingin tau tentang ku” jawab Arfan.
            “aisy terserah kau saja lah, Yun ayo kita pulang” Khalisa dan Wahyuni pun pergi dari warung itu, meninggalkan Arfan yang masih tersenyum.
>Ooo<
            Di tempat lain, Givan dan Amira tengah duduk bersama dan menceritakan tentang Khalisa yang menghilang tanpa jejak. Givan terlihat benar-benar merindukan Khalisa begitupun dengan Amira, bahkan Amira mengurungkan niatnya untuk mengungkapkan perasaanya pada Givan. Ia tidak ingin membuat suasana makin kacau, dan ia juga menyadari satu hal kalau Givan menyukai Khalisa.
            ‘dia melakukannya bukan untuk ku tapi karena ia mencintainya’ kata batin Khalisa menatap Givan yang tengah duduk frustasi.
            “aku kehilangan sahabat terbaik ku Amira” kata Givan yang terlihat kacau.
            “padahal aku rela memberi ginjal ku agar aku tidak kehilangannya dan meilhat ia sakit seperti dulu, tapi kenapa dia pergi Mira” sambung Givan.
            Amira hanya diam tapi air matanya mulai menetes, rasa yang ia rasa sekarang antara sakit kehilangan sahabat dan rasa sakit karena orang yang ia cintai sangat mencintai orang lain. Amira tidak bisa menyalahkan Khalisa dalam kasus ini, kerena ia lah yang salah menepatkan hati. Ia berjanji kalau Khalisa kembali dia akan membuat Khalisa dan Givan bersatu ia rela mengorbankan cintanya demi orang ia cintai bahagia.
            ‘apa Khalisa pergi kerena dia menyukai Givan, dan dia ingin aku dan Givan bersatu. Dasar bodoh kami tidak akan bersatu dengan cara seperti ini’ kata batin Amira.
            Amira terus berbicara dengan batinnya sendiri, ia juga menyalahkan dirinya dengan semua yang terjadi. Dia menyalahkan dirinya yang jatuh cinta pada yang tak seharusnya, ia mencintai orang yang juga di cintai sahabatnya, begitulah yang di pikirkan Amira.
>Ooo<
           
Pagi yang indah dan sejuk, Khalisa telah membuka matanya ia liat Uwaknya yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka, terlalu pagi memang tapi ini lah kebiasaan Uwaknya. Apalagi Uwak punya seorang anak yang masih sekolah SMA yang tiap paginya selalu membawa bekal dari rumah.
            “Wak, Khalisa Shalat subuh dulu ya? Nanti baru bantu Uwak” ungkap Khalisa Uwak Hayati pun menganggukan kepalanya dan mengukir sebuah senyum.
            Khalisa pergi ambil wudhu, setelahnya ia langsung shalat subuh. Setelah shalat Khalisa memanjatkan doa untuk dirinya dan keluargannya. Saat sedang melipat mukenah wajah Givan terlintas di benaknya, jujur ia masih merindukan pemuda yang telah melakukan banyak hal untuknya itu. sekilas kenangannya dan Givan pun kembali menari-nari di otaknya termasuk kenangan dengan Amira yang jujur padanya kalau ia suka pada Givan.
Flash Back       :
            Khalisa duduk di taman rumah sakit bersama Amira yang terus sja bercoleteh banyak hal, ya hari ini Amira mengunjungi Khalisa yang baru saja selesai operasi. Givan lah yang telah memberinya ginjal agar Khalisa bisa sembuh dari penyakitnya. Amira sang sahabat terus sja bercerita pada Khalisa, Khalisa hanya menjadi pendengar yang baik untuk Amirah hingga satu kenyataan ia dengar.
            “Khalis, kau tau gak sih, aku sangat menyukai Givan bahkan saat pertama kali aku bertemu dengannya” jujur Amira sambil senyum, tanpa menyadari raut wajah Khalisa yang seketika berubah.
            “dan yang lebih senang lagi dia bisa dekat dengan sahabat ku ini, bahkan karena permintaan ku dan rasa sayang nya padamu dia mau mendonor kan ginjalnya pada mu” ungkap Amira.
Flas ON           :
            “yah dia melakukan semuanya itu demi Amira bukan aku, aku yakin rasa cinta Amira terbalaskan” kata Khalisa lirih dan setetes air mata membasahi pipinya.
            “Khalisaaa” suara Pak Wanya menyadarkan Khalisa.
            “iya” Khalisa menjawab penggilan itu dan berlalu meninggalkan kamar.
Skip Time
            Hari ini Khalisa pergi bersama Pak Wanya ke sawah, dan nanti setelah urusan Pak Wa selesai dia berjanji akan membawa Khalisa ke air terjun yang ada di desa itu. Di sawah Khalisa terus memperhatikan Pak Wanya yang sedang mengaliri air. Dan ia gak sadar lagi-lagi di tempat itu ada Arfan.
            “woi” kagetkan Arfan.
            “eh copot copot astaufirullah” ucap Khalisa yang langsung loncot ke sawah, al hasil ia berlepotan lumpur.
            “hahahahahaha” gelak tawa Arfan menggema di sawah hingga mengundang perhatian Pak Wa Khalisa dan beberapa warga yang ada di sawah.
            “aisy Arfaaaaaan” teriak Khalisa kesal.
            “aaaakh, apa ini” Khalisa kembali teriak histeris, Pak Wa dengan panic menghampiri Khalisa yang telah jatuh terduduk.
            “ah, ini… jangan bergerak” kata Arfan.
            “pacat” sambungnya saat pacat itu sudah ada di tanggannya.
            “aaaakh” spontan Khalisa kembali berteriak keluar dari sawah dan berlari sebisanya.
            “maaf pak” ucap Arfan saat Pak Wa Khalisa menghampirinya.
            “iya” jawab Pak wa singkat dan mengejar Khalisa, Arfan pun ikut mengejar.
            Setelah berhasil mengejar Khalisa, mereka pun duduk di sebuah warung  dan mulai berbicara baik-baik, termasuk Arfan yang minta maaf pada Khalisa karena candaannya. Walau Arfan telah minta maaf Khalisa tetap masang wajah cemberut, ia juga cerita sama Pak Wa Khalisa gimana ia bertemu sama Khalisa.
            “jadi kamu juga akan ke air terjun itu nak Arfan”
            “ia Pak sama Pak kechik juga” kata Arfan.
            “ya sudah kita pergi sama-sama”
            Se sampeknya di air terjun Khalisa masih memasang wajah cemberut sedangkan Arfan asyik motret-motret saja. Ia juga memotret wajah cemberut Khalisa, di tempat yang mereka datangi sekarang suasana sejuknya benar-benar terasa. Sejenak rasa sejuk dan rasa kesalnya pada Arfan bisa membuat Khalisa melupakan masalahnya.
            “woi cemberut aja coba deh kamu rasa kan suasananya sejuk banget” ucap Arfan.
            “diam!” printah Khalisa.
            “rasakan dulu baru marah-marah” kata Arfan lagi dan melanjutkan acara montretnya.
            Melihat Arfan kembali sibuk, Khalisa pun merentangkan tanggannya dan merasakan sauna yang sejuk itu menerpanya. Dia hanyut dalam suasana yang terciptakan, dan Arfan yang melihat tak menyianyiakan kesepatan itu untuk mengambil gambar Khalisa.
            “kau memang menarik” gumam Arfan sambil melihat hasil jepretannya.
>Ooo<
            Hari-hari berlalu dengan cepat walau masih bertengkar tapi hubungan Khalisa dan Arfan makin dekat. Khalisa juga telah menceritakan masalahnya dengan Givan dan Amira juga masalah skripsinya. Arfan dengan senang hati membantu Khalisa membuat skripsinya dan juga membatunya melupakan Givan.
            Dan seiring waktu Arfan berhasil melakukan itu, ia hampir menyelesaikan skripsi Khalisa tapi sayang ia tidak berhasil membuat Khalisa melupakan Givan. Arfan malah melakukan kesalahan yang membuat dirinya sakit, ia makin hari makin menyukai gadis yang membuat ia tertarik saat pertama kali melihatnya.
            “oh ya besok kau jadi balik ke Banda Aceh?” tanyak Khalisa yang tengah mengetik  Skripsinya.
            “ya, aku harus menyerahkan skripsi ku secara lansung, kalau via E-mail sih udah tapi dosennya minta langsung sekarang. Dan lagi aku di sini juga sudah 5 bulan” jelas Arfan yang tengah mencoret-coret kertas.
            “aku akan kesepian dong, apa kau tidak akan kembali?” tanyak Khalisa yang menatap Arfan sendu kini.
            “aku akan kembali kalau kau mau menerima aku, karena selain itu aku gak punya alasan kembali kesini karena semuanya telah selesai” jujur Arfan tapi Khalisa melah mengkerutkan keningnya.
            “maksud kamu?”
            “bisakah kau lupakan Givan dan bersama ku?”
            “ah, aku ingin bersama mu Arfan, kau orang yang baik tapi aku belum bisa sepenuhnya melupakan Givan jadi aku gak bisa bersama mu aku gak mau kau sakit”
            “aku akan menunggu kau melupakan Givan, tapi aku ingin menjadi imam mu sekarang bukan kekasihmu” ucap Arfan tulus.
>Ooo<
          1 tahun kemudian, Khalisa terlihat tengah duduk di depan rumahnya sendiri memperhatikan sang Abang yang tengah mencuci mobil. Wildan yang tau Khalisa memperhatikannya malah menoleh pada Khalisa dan melemperkan senyum manisnya.
            “kamu udah ke kampus?” tanyak Wildan lalu.
            “belum, kata dosennya besok aja lagian aku baru datang kenapa harus buru-buru” bela Khalisa dengan cenggiran khasnya.
            “jangan di tunda-tunda lagi, kamu udah banyak buang-buang waktu di Aceh” kata Wilda dan melanjutkan acar cuci mobilnya.
            Mendengar jawaban dari sang Abang Khalisa tersenyum malu entah apa yang ada di pikirannya. Dengan masih mempertahankan senyum Khalisa pergi masuk ke dalam rumahnya, ia duduk di depan TV dan menonton drama korea yang akhir-akhir ini menjadi drama favoritnya.
            “Khalis di depan ada Givan sama Amira” kata Wilda yang tiba-tiba datang mengganggu acar dia menonton.
            “ke……”
            “Khalisaaaaaaa” teriakkan Amira menggema di seluruh penjuru rumah Khalisa.
            “ah hay, Amira Givan” sapa Khalisa canggung.
            Amira menatap Khalisa horor sedangkan Givan menatapnya dengan tatapan yang sulit di jelaskan tatapan itu terlihat misterius. Khalisa agak takut menatap Givan yang seperti itu sekarang.
            “aku kangen kamu, pokoknya kamu harus cerita segalanya pada ku” tuntut Amira dan memeluk Khalisa.
            Setelah pelukan Amira di lepaskan, Khalisa menatap Givan yang masih menatapnya dengan tatapan yang aneh. Khalisa melemparkan senyum manisnya, tapi Givan tidak menanggapi senyum itu. ia malah melangkah makin dekat pada Khalisa dengan mempertahankan tatapannya.
            “dasar bodoh” cibir Givan dan memeluk Khalisa, Amira memasang senyum aneh saat melihat adegan itu sedangkan Khalisa membulatkan matanya.
            “eh? Maaf tapi kita bukan muhrib” ucap Khalisa dan melepaskan pelukan itu.
            “ah, maaf aku terlalu senang kau kembali, aku pikir kau gak akan kembali, aku sangat merindukan mu aku selalu menunggu mu kembali, kau telah meninggalkan ku 1 tahun 4 bulan 4 hari dan akhirnya sekarang kau kembali” ucap Givan senang dan setetes butiran bening membasahi pipinya.
            “ke__kenapa kau seperti ini Givan?” tanyak Khalisa yang menatap binggung Givan.
            “kerena aku mencintaimu sangat mencintai mu” jujur Givan.
Deg
            Jantung Khalisa dan Amira seketika rasanya terhenti, keduanya merasakan sakit tapi sakit yang berbeda. Indra pendengaran Khalisa kini juga menangkap tapak kaki seseorang melangkah mendekati mereka, Khalisa sangat hafal langkah kaki itu dan juga varfum yang kini menusuk indara penciumannya. Khalisa membalikan badannya dan mendapati sosok pemuda yang berpostur atletis itu tengah menatap mereka. Rambunya terlihat acak-acakkan tapi ia masih saja terlihat tampan.
            “mereka teman mu?” tanyak Suara baritone itu.
            “iya, Bang Arfan”
Flas Back         :
            “kau serius Arfan ingin menjadi Imam ku?” tanyak Khalisa ragu.
            “iya, kalau kau mau hubungi aku setelah 2 bulan, aku akan membawa keluarga ku untuk melamar mu”
            2 bulan kemudian, Khalisa terlihat cantik cantik dengan baju mereh mudanya. Dan di laur kamar terdengar seuara orang-orang tua yang tengah menentukan tanggal pernikahannya dan Arfan. Setelah penetapan mahar dan tanggal pernikahan selesai Khalisa di bawa keluar dan berkenalan dengan keluarga calon suaminya.
            Rencananya pernikahan itu akan di lakukan bulan depan dan bulan depan juga Khalisa beru bertemu dangan Arfan. Pernikahan mereka akan berlangsung di kampong Pak Wanya Khalisa, sesuai permintaan keduannya. Semua persiapan pun sudah mulai di lakukan.
Selama tidak bertemu dengan Arfan, Khalisa merasa dia merindukan Arfan walaupun jujur ia belum sepuhnya yakin pada rasa itu. Arfan sendiri tidak pernah memaksakan Khalisa untuk mengatakan ia mencintainya, Arfan cukup senang Khalisa menerimanya walaupun mungkin hanya di jadikan palampiasan tapi nanti statusnya lebih kuat dari pada Givan.
            Setelah acara pernikahannya dengan Arfan, Khalisa memutuskan untuk tinggal bersama Arfan di Kota Banda Aceh. Di  sana mereka tinggal bersama dengan keluarga Arfan, dan setelah Arfan di wisuda dan pernikahan mereka sudah berjalan 4 bulan kemaren Khalisa bersama sang suami kembali ke Sumatra Barat.
Flash On         :
            “dia siapa Khalisa?” tanyak Amira penasaran.
            “Arfan Syahraza suami ku” ucap Khalisa.
            ‘suami kau bercanda” kata Givan.
            “iya kau bercanda”
            Suasana yang terciptakan pun jadi sunyi Khalisa hanya diam, semua terlihat mulai kalut dengan pikiran masing-masing. Givan dan Amira yang ingin mendengar kalau Khalisa Cuma bercanda, Arfan yang takut Khalisa tidak mengakuinya dan Khalisa yang takut teman-temannya akan kecewa padanya.
            “maaf aku gak mengatakanny pada kalian, aku dan bang Arfan bertemu di Aceh 5 bulan kami mengenal kita pun memutuskan untuk menikah”
            “kanapa secepat itu, kau mencintainya?” tanyak Givan yang jelas terlihat kecewa dengan kenyataan yang ia dengar.
            “aku gak tau aku mencintainya atau tidak, tapi aku yakin dan percaya padanya” kata Khalisa dan menggandeng tanggan suaminya itu.
            “tapi Givan yakin dan percaya pada mu juga sangat mencintai mu tapi kenapa kau pergi darinya dan mencari orang asing?” tanyak Amira yang mulai meneteskan air matanya.
            “Amira ini takdir dan pilihan ku, aku ingin bahagia dengan suami ku. Aku yakin ada orang lain yang sangat mencintai Givan dan selalu bersamanya”
            “apa maksudnya aku? Tidak Khalisa aku telah mundur saat tau givan sangat mencintai mu dan saat aku sadar kamu juga mencintai Givan, aku telah mencari penggantinya”
            “kenapa kau lakukan ini? Tidak seharusnya ini semua terjadi Amira” bentak Khalisa yang jelas terlihat kecewa.
            “cukup! Ini salah ku aku yang gak jujur dengan perasaan ku, aku yang buat kekacauan ini” ucap Givan lirih dan pergi.
            “Givan tunggu, maaf kan aku, aku telah menyakiti mu setelah apa yang kau berikan padaku”
            “tidak Khalisa kau tidak salah, semoga kau selalu bahagia dengan suamimu, Arfan tolong jaga Khalisa dengan baik” ujar Givan.
            “pasti, dan terima kasih kerena mu aku bisa bertemu dengannya” ucap Arfan yang merasa bersalah dengan apa yang terjadi, tidak seharusnya ia menyatakan cintanya dulu.
            “ini takdir, walaupun aku ingin dia mencintai tapi kenyataannya dia mencintaimu” ungkap Givan lirih.
            “tidak Givan dia tidak mencintai ku dia hanya baru mencoba mencintai ku”
            “bang Arfan”
            “dia mencintai laki-laki yang telah banyak membantunya, yang telah mendonorkan ginjal untuknya, tapi Givan maaf aku tidak bisa melepaskan istri ku lagi untuk laki-laki itu karena aku juga sangat mencintainya” jujur Arfan yang membuat suasana menegang.
            “Khalisa” panggil Givan, seolah mencari kebenaran.
            “bang Arfan benar aku mencintai mu tapi aku gak bisa bersama mu dan sekarang aku mulai mencintai bang Arfan” ungkap Khalisa, givan tersenyum dan sekarang benar-benar oergi dari sana.
            “maaf Khalisa ini semua salah ku, dan sekarang aku akan menyusulnya” ujar Amira merasa bersalah.
            “hmm pergilah dan Amira dalam kasus ini tidak ada yang salah” ucap Khalisa dengan senyum.
            Setelah kepergian Givan dan Amira, Khalisa memandang Arfan lalu tersenyum manis dan langsung memeluknya erat. Arfan pun membalas pelukan itu dengan penuh cintanya. Di sisi lain ternyata Andre dan Wildan dari tadi terus memperhatikan mereka sambil senyum-senyum.
            “apa aku bilang, Khalisa memang cocok dengan orang seperti Arfa” ungkap Wilda dan Andre menganggukan kepalanya setuju.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                END